ARTICLE AD BOX
Aksi yang digelar di Jl. Medan Merdeka Barat ini diinisiasi oleh Asosiasi Pengemudi Transportasi dan Jasa Daring Indonesia, Garda Indonesia. Ketua Umum Garda Indonesia, Raden Igun Wicaksono, dalam siaran persnya menyatakan bahwa demonstrasi ini menyoroti isu tarif ojek online, potongan biaya aplikasi, serta beberapa tuntutan lain yang dianggap merugikan pengemudi.
Sebelum aksi dimulai, Ketua Presidium Koalisi Ojol Nasional (KON), Andi Kristiyanto, menyampaikan kepada wartawan bahwa seruan untuk off-bid dalam aksi ini terkesan sebagai klaim sepihak yang tidak mendapat dukungan luas dari komunitas pengemudi ojek online. Hasil pengecekan oleh Forum Ojol Yogya Bersatu (FOYB) juga tidak menemukan alamat posko aksi sebagaimana disebutkan dalam selebaran yang beredar.
“Dengan fakta tersebut, kawan-kawan ojol juga meragukan kredibilitas pihak tersebut, yang diduga memanfaatkan ojol untuk kepentingan pribadi. Tidak ada manfaatnya bagi kawan-kawan ojol, bahkan bisa merusak citra ojol yang berakibat pada menurunnya kepercayaan masyarakat pengguna jasa,” ujar Andi.
Isu Tarif dan Potongan Aplikasi Jadi Perdebatan
Tuntutan komunitas ojek online dalam beberapa tahun terakhir kerap menjadi perdebatan di kalangan masyarakat dan pakar kebijakan transportasi. Isu utama yang sering diangkat adalah penetapan tarif dasar yang adil, potongan biaya aplikasi, kebijakan insentif dan promosi, serta tuntutan agar pengemudi mendapatkan tunjangan hari raya (THR) dan diangkat sebagai pekerja tetap.
Dr. Yudi Wahyudi, pakar transportasi dari Universitas Indonesia, menilai bahwa tuntutan revisi potongan biaya aplikasi dari 20% menjadi maksimal 10% perlu dikaji lebih dalam. "Menurunkan potongan aplikasi memang dapat meningkatkan pendapatan pengemudi, tetapi kita juga harus mempertimbangkan keberlanjutan platform yang memberikan layanan ini," ujarnya.
Sementara itu, Dwi Hartanto, pengamat ekonomi digital, menyatakan bahwa kebijakan promosi yang dikritik oleh pengemudi justru merupakan bagian dari strategi bisnis untuk meningkatkan jumlah pengguna. “Jika promosi dihapus begitu saja, ada risiko penurunan permintaan yang akan berdampak pada penghasilan mereka,” jelasnya.
Terkait tuntutan THR dan status pekerja tetap, Dr. Anwar Fadillah, ahli hukum ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada, menegaskan bahwa pengemudi ojek online berstatus sebagai mitra, bukan pekerja tetap. “Menjadikan pengemudi sebagai pekerja tetap berarti mengubah secara fundamental model bisnis platform transportasi daring. Hal ini akan berdampak luas, baik dari sisi hukum maupun ekonomi. Perusahaan tidak mungkin menampung seluruh mitra yang ada saat ini jika mereka harus diangkat sebagai pekerja tetap,” jelasnya.
Jika aturan tersebut diterapkan, pemerintah juga akan menghadapi tantangan baru, yaitu meningkatnya angka pengangguran akibat pengurangan jumlah pengemudi. Kondisi ini diperparah dengan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor, seperti yang terjadi di Sritex, Sanken, dan Mayora. Pemerintah perlu mencari solusi yang bijak agar iklim investasi tetap menarik bagi investor dan angka pengangguran tidak semakin meningkat.
Prof. Payaman Simanjuntak, pakar ketenagakerjaan dari Universitas Indonesia, menambahkan bahwa pekerja ekonomi gig sebaiknya diberikan perlindungan sosial yang sesuai dengan karakteristik fleksibilitas pekerjaan mereka. “Mereka tidak bisa dipaksa masuk dalam sistem ketenagakerjaan konvensional yang dapat mengurangi daya saing industri,” ujarnya.
Regulasi Harus Melibatkan Semua Pihak
Sejumlah pakar menilai bahwa diperlukan pendekatan lebih inklusif dalam penyusunan regulasi. “Sering kali kebijakan ditetapkan tanpa benar-benar mendengar semua pihak, termasuk konsumen dan aplikator,” kata Rizal Maulana, peneliti kebijakan publik. “Diperlukan dialog terbuka yang lebih efektif agar keputusan yang diambil dapat memberi manfaat bagi semua pemangku kepentingan.”
Aksi demonstrasi ini menunjukkan bahwa tidak semua pengemudi ojek online memiliki pandangan yang sama terhadap tuntutan yang disampaikan. Ke depan, tantangan terbesar adalah menemukan titik temu yang dapat mengakomodasi kepentingan pengemudi, perusahaan aplikator, dan konsumen tanpa mengorbankan keberlanjutan industri transportasi daring di Indonesia.