ARTICLE AD BOX
Menurut dia, pencegahan merupakan bentuk pertahanan yang perlu disiapkan untuk menghentikan tingkat stunting yang ada di Jakarta maupun Indonesia. 1.000 HPK merupakan bentuk pencegahan yang paling akurat agar anak bisa terhindar dari stunting.
“Kalau bicara stunting, pencegahannya harus dimulai dari 1.000 HPK, karena stunting itu bukan hanya bicara tinggi badan yang kurang dari normal. Stunting itu menunjukkan indikasi kurang gizi kronis artinya berlangsung lama.,” kata Narila Mutia Nasir, Jumat (8/11/2024).
Narila yang juga merupakan Dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menegaskan permasalahan stunting jika tidak ditangani dengan serius dan seksama, dapat menimbulkan berbagai faktor yang dapat menurunkan kualitas dari generasi masa depan Indonesia di masa yang akan datang.
Salah satu contoh nyata efek buruk stunting adalah tumbuh kembang dari anak yang menjadi terhambat. Tidak hanya itu saja, kecerdasan dari anak tersebut juga nantinya sangat memperihatinkan dan tidak dapat bersaing dengan anak-anak yang lain.
Sehingga, pencegahan di 1.000 HPK menjadi sangat penting untuk diperhatikan baik dari pemerintah dan juga ibu dari anak itu sendiri.
“Nah sudah pasti dampaknya kemana-mana termasuk ke pertumbuhan dan perkembangan otak misalnya. Jadi kalau mau anak-anak tidak stunting maka pencegahannya dari awal,” ucap dia.
Untuk di Jakarta, menurut data dari Kementerian Kesehatan terdapat 2,03 persen periode April 2024. Prevalensi stunting tertinggi berada di Kota Jakarta Pusat, yaitu 3,86 persen.
Sementara itu, berdasarkan data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, prevalensi stunting di Provinsi DKI Jakarta adalah 17,6 persen. Prevalensi stunting tertinggi di DKI Jakarta berada di Kota Jakarta Utara, yaitu 19,8 persen
Sementara itu, secara keseluruhan tingkat stunting berhasil diturunkan oleh Pemerintah Indonesia sebesar 9,63 persen selama lima tahun ke belakang (2018-2023).
Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, prevalensi stunting di tahun 2018 sebesar 30,8 persen, kemudian turun menjadi 27,7 persen di tahun 2019, dan di tahun 2020 pengukuran ditiadakan karena pandemi COVID-19.
Pada tahun 2021, pengukuran kembali dilakukan dengan prevalensi stunting yang kembali menurun sebesar 24,4 persen, lalu di tahun 2022 sebesar 22,6 persen, dan di tahun 2023 sebesar 21,5 persen.
Pada tahun 2023, Indonesia juga berhasil memperlambat tingkat stunting menjadi 21,5 persen karena pemerintah memutuskan untuk melakukan evaluasi dan pembaruan data kelompok sasaran, sehingga semua balita dan ibu hamil dapat terdata dengan akurat, agar intervensi yang diberikan menyasar seluruh kelompok sasaran.
Pada tahun 2024, bersama dengan SKI memadankan data dengan hasil pengukuran serentak di seluruh posyandu yang tercatat pada sistem Elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (EPPGBM), di mana hasil sementara dilaporkan sebesar 18,7 persen.