ARTICLE AD BOX
Apalagi, kenaikan harga pangan bukanlah hal baru, terutama menjelang hari besar keagamaan. "Dinamika ini selalu terjadi setiap tahun. Namun, yang perlu kita pastikan adalah bagaimana pemerintah hadir untuk menjaga kestabilan harga dan ketersediaan pangan," ujar Riyono dalam Dialektika Demokrasi bertema "Menjaga Stabilitas Harga Pangan Jelang Ramadhan", Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (27/2).
Berdasarkan data FAO, kata Riyono, biaya yang harus dikeluarkan masyarakat Indonesia untuk pangan bergizi mencapai USD 4,47 per hari atau sekitar Rp 69.000. Angka ini lebih tinggi dibandingkan negara-negara tetangga seperti Thailand (USD 4,3), Filipina (USD 4,1), Vietnam (USD 4), dan Malaysia (USD 3,5).
Riyono menilai, mahalnya harga pangan di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk daya beli masyarakat yang lemah dan kebijakan penetapan harga yang sering terlambat. Komisi IV DPR RI pun, telah melakukan pemantauan harga di beberapa daerah, seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jogjakarta menjelang puasa.
Hasilnya, ditemukan bahwa harga beras, minyak goreng, cabai, ayam, dan ikan mengalami kenaikan. Harga beras Bulog, misalnya, berada di kisaran Rp 12.000–13.000 per kilogram. Sedangkan harga ayam potong naik dari Rp 35.000 menjadi Rp 38.000 per kilogram.
Riyono menyoroti peran Bulog yang dinilai belum mampu mengendalikan harga di pasar karena hanya menguasai sekitar 3–5% peredaran beras nasional.
"Bulog harus lebih diperkuat, jangan sampai hanya menjadi pemain kecil di pasar," kata Riyono.
Riyono pun, mengkritik ketergantungan pemerintah pada operasi pasar yang selama ini dianggap sebagai "obat sementara." Ia mengusulkan adanya 'Bulog mini' di setiap Kabupaten/Kota untuk menjaga stabilitas harga pangan secara lebih efektif.
"Pangan adalah kebutuhan dasar. Jika harga tidak terkendali dan daya beli masyarakat melemah, dampaknya bisa luas terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Ini yang harus kita cegah," tutupnya.
Sementara Pengamat Ekonomi Indef, Eko Listiyanto menyatakan, guna mengantisipasi kenaikan harga menjelang puasa maupun lebaran tak lepas dari dua sisi yang perlu diantisipasi yakni produksi dan distribusi. Lantaran terkadang ada produksi di suatu tempat, bahkan melimpah.
Namun, akses distribusinya tidak lancar sehingga mempengaruhi harga. Oleh karena itu, pemerintah perlu memperhatikan dua hal tersebut agar peredaran barang tidak terbatas. Selain itu, ketika ingin melakukan operasi pasar sudah memiliki data sehingga tidak hanya berada di satu sampai tiga titik saja.
Melainkan berada di banyak titik-titik lainnya. "Ketika terjadi kenaikan harga, pemerintah seharusnya sudah siap data. Tiga atau lima hari menjelang puasa, justru operasi pasar diperlukan. Setelah itu, harga akan melandai lagi di tengah-tengah bulan puasa. Nah, di sanalah peran operasi pasar tadi," kata Eko. k22